Tafsimix - Cerpen Fiksi Horor. Usiaku saat itu masih 10 tahun dan aku duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Sekolahku terletak cukup jauh dari rumah. Setidaknya butuh waktu 15 menit untuk tiba di sana dengan cara berjalan kaki. Tapi karena biasanya kami pergi ke sekolah beramai-ramai, maka berjalan kaki menjadi menyenangkan.
Biasanya aku berangkat dengan empat orang teman yang rumahnya tidak berjauhan denganku. Kami berlima kebetulan sekelas jadi sudah sangat akrab sejak kecil. Tahun itu kami kedatangan teman baru yang cukup aneh. Saking anehnya terkadang membuat kami takut.
Dia adalah Dian. Karena rumah Dian dan rumahku yang paling berdekatan, aku menjadi lebih akrab dengan Dian dibanding yang lain. Tapi karena keakraban tersebut, lama kelamaan aku malah jadi takut padanya. Setiap ada dia kok bawaannya jadi horor gitu.
Dian termasuk pintar bercerita. Entah sudah berapa banyak cerita horor yang ia ceritakan pada kami. Tak jarang ceritanya membuat kami ketakutan untuk pulang dari pengajian. Apalagi setiap malam kami harus melintasi kuburan umum saat pulang mengaji. Sementara Dian, dia tidak ikut mengaji dan juga tidak sekolah. Tidak ada yang tahu kenapa.
Cara Dian yang begitu profesional menyusun alur ceritanya membuat kami begitu antusias setiap kali ada cerita baru. Anehnya, meskipun takut kami seolah ketagihan dengan cerita-cerita yang dibawakan Dian. Hingga tibalah masa ketika kami mulai menjauhi Dian.
Hal itu bermula ketika Ridho, salah satu temanku merasa ada kemiripan cerita antara kisah yang pernah diceritakan Dian dengan kejadian yang baru saja menghebohkan kampung kami. Saat itu, terjadi pembunuhan di daerah hilir kampung yang menurut rumornya merupakan peristiwa mistis yang melibatkan hantu.
Baca juga : Seram!! Pria ini Meninggal di Hutan Tepat di mana Ia Menguburkan Korbannya. Buat kamu yang suka cerita fiksi horor, kisah horor satu ini mungkin akan membuatmu merinding.
Meski aku tidak ingat betul cerita Dian yang dimaksud Ridho, namun saat beberapa teman yang lain mengiyakan aku pun ikut percaya. Tapi saat itu aku hanya berkomentar bahwa hal itu kemungkinan hanya kebetulan semata. Lagipula tidak ada bukti nyata bahwa korban yang tewas itu dibunuh hantu. Dan masak iya sih hantu bisa membunuh manusia?
Keesokannya, warga kampung kembali dihebohkan dengan penemuan mayat di pinggir sungai di belakang rumah salah satu warga. Aku bersama teman-teman sepakat untuk pergi melihat kehebohan tersebut. Tapi saat itu hanya Dian yang seolah enggan diajak ke sana.
Setibanya di lokasi penemuan, lagi-lagi Ridho berceletuk bahwa kejadian tersebut mirip dengan kejadian yang diceritakan Dian. Kali ini aku langsung setuju karena aku ingat betul cerita itu. Saat itu, dian bercerita tentang siluman buaya putih yang suka menelan korban di sungai. Saat kami tanya sungai apa yang dimaksud, Dian hanya diam dan bilang bahwa sungai itu tak jauh.
Ingatan itulah yang kemudian membuatku menjadi bergidik. Kecemasan pun berubah menjadi ketakutan saat desas-desus menyebutkan bahwa mayat yang ditemukan tewas dimakan buaya dan hanya sebagian tubuh bagian atasnya saja yang ditemukan.
Sontak saja hal itu membuat kami semakin bergidik. Aku lantas mengajak teman yang lain ke rumah Dian. Tapi saat tiba di rumahnya, Dian terlihat sedang asik bercerita kepada beberapa bocah yang usianya di bawah kami.
Entah kerasukan setan apa, Ridho lantas berteriak ke arah Dian dan memintanya berhenti. Ia bahkan menyuruh anak-anak yang tengah asik mendengarkan untuk bubar. Hal itu jelas saja membuat Dian bingung sekaligus geram.
Saat Ridho menjelaskan maksudnya, Dian hanya tersenyum seolah mengiyakan. Kami lantas mendesak Dian untuk menjelaskan. Tentu saja kami penasaran bagaimana Dian bisa tahu kejadian itu sebelum kejadian itu terjadi.
Tapi Dian sepertinya memilih untuk diam dan membiarkan kami mati penasaran. Ia lantas masuk ke dalam rumah dan meminta kami untuk lebih berhati-hati. Tentu saja ucapan Dian membuat kami menjadi ketakutan.
Di lokasi pengajian, aku melihat Ridho tengah menginterogasi beberapa anak yang sebelumnya mendengar cerita Dian. Saat melihatku, Ridho langsung menghampiriku dan wajahnya terlihat panik. Ia mengajakku untuk pulang padahal kami belum mengaji.
Tentu saja aku menolak karena aku bisa dimarah jika bolos mengaji. Aku lantas bertanya kenapa harus pulang. Ridho pun menjelaskan alasannya. Penjelasan Ridho membuatku benar-benar ketakutan. Menurutnya, Dian bercerita tentang kematianku kepada anak-anak tadi. Ridho yang sudah paranoid pun segera menyeretku pulang tidak peduli aku setuju atau tidak.
Tapi hari sudah menjelang magrib dan langit sudah gelap. Suasana itu malah membuat aku menjadi ketakutan. Ketika melewati kuburan umum, aku mendengar mulut Ridho komat-kamit seperti membaca doa. Sementara aku berjalan di sampingnya sambil sesekali mengamati sekeliling.
Aku berhenti saat melihat sebuah cahaya berjalan di balik pepohonan. Cahaya itu terlihat bergerak menuju ke salah satu kuburan. Ridho yang sadar aku berhenti lantas menarik tanganku lebih keras dan kemudian memintaku berlari.
Entah karena panik atau karena takut, aku dan Ridho berlari pontang-panting. Meski tiba di rumah dengan selamat, keesokannya aku dan Ridho jatuh sakit. Kami jatuh sakit hingga berhari-hari. Tepat di hari sabtu sore, aku mendapat kabar dari Ibu bahwa Ridho meninggal dunia.
Sontak saja hal itu membuatku ketakutan setengah mati. Aku lantas menceritakan mengenai cerita Dian kepada Ayah dan Ibuku. Namun jawaban mereka justru membuatku semakin ketakutan.
Bagaimana tidak, ternyata Ayah dan Ibu tidak mengenal siapa Dian. Mereka bahkan bingung anak mana yang kumaksud. Aku lantas mengajak Ayah ke rumah Dian. Ketakutanku pun semakin menjadi-jadi saat mendapati rumah yang selama ini kulihat berubah menjadi sebuah pohon beringin besar nan rimbun.
Biasanya aku berangkat dengan empat orang teman yang rumahnya tidak berjauhan denganku. Kami berlima kebetulan sekelas jadi sudah sangat akrab sejak kecil. Tahun itu kami kedatangan teman baru yang cukup aneh. Saking anehnya terkadang membuat kami takut.
Dia adalah Dian. Karena rumah Dian dan rumahku yang paling berdekatan, aku menjadi lebih akrab dengan Dian dibanding yang lain. Tapi karena keakraban tersebut, lama kelamaan aku malah jadi takut padanya. Setiap ada dia kok bawaannya jadi horor gitu.
Dian termasuk pintar bercerita. Entah sudah berapa banyak cerita horor yang ia ceritakan pada kami. Tak jarang ceritanya membuat kami ketakutan untuk pulang dari pengajian. Apalagi setiap malam kami harus melintasi kuburan umum saat pulang mengaji. Sementara Dian, dia tidak ikut mengaji dan juga tidak sekolah. Tidak ada yang tahu kenapa.
Cara Dian yang begitu profesional menyusun alur ceritanya membuat kami begitu antusias setiap kali ada cerita baru. Anehnya, meskipun takut kami seolah ketagihan dengan cerita-cerita yang dibawakan Dian. Hingga tibalah masa ketika kami mulai menjauhi Dian.
Hal itu bermula ketika Ridho, salah satu temanku merasa ada kemiripan cerita antara kisah yang pernah diceritakan Dian dengan kejadian yang baru saja menghebohkan kampung kami. Saat itu, terjadi pembunuhan di daerah hilir kampung yang menurut rumornya merupakan peristiwa mistis yang melibatkan hantu.
Baca juga : Seram!! Pria ini Meninggal di Hutan Tepat di mana Ia Menguburkan Korbannya. Buat kamu yang suka cerita fiksi horor, kisah horor satu ini mungkin akan membuatmu merinding.
Meski aku tidak ingat betul cerita Dian yang dimaksud Ridho, namun saat beberapa teman yang lain mengiyakan aku pun ikut percaya. Tapi saat itu aku hanya berkomentar bahwa hal itu kemungkinan hanya kebetulan semata. Lagipula tidak ada bukti nyata bahwa korban yang tewas itu dibunuh hantu. Dan masak iya sih hantu bisa membunuh manusia?
Keesokannya, warga kampung kembali dihebohkan dengan penemuan mayat di pinggir sungai di belakang rumah salah satu warga. Aku bersama teman-teman sepakat untuk pergi melihat kehebohan tersebut. Tapi saat itu hanya Dian yang seolah enggan diajak ke sana.
Setibanya di lokasi penemuan, lagi-lagi Ridho berceletuk bahwa kejadian tersebut mirip dengan kejadian yang diceritakan Dian. Kali ini aku langsung setuju karena aku ingat betul cerita itu. Saat itu, dian bercerita tentang siluman buaya putih yang suka menelan korban di sungai. Saat kami tanya sungai apa yang dimaksud, Dian hanya diam dan bilang bahwa sungai itu tak jauh.
Ingatan itulah yang kemudian membuatku menjadi bergidik. Kecemasan pun berubah menjadi ketakutan saat desas-desus menyebutkan bahwa mayat yang ditemukan tewas dimakan buaya dan hanya sebagian tubuh bagian atasnya saja yang ditemukan.
Sontak saja hal itu membuat kami semakin bergidik. Aku lantas mengajak teman yang lain ke rumah Dian. Tapi saat tiba di rumahnya, Dian terlihat sedang asik bercerita kepada beberapa bocah yang usianya di bawah kami.
Entah kerasukan setan apa, Ridho lantas berteriak ke arah Dian dan memintanya berhenti. Ia bahkan menyuruh anak-anak yang tengah asik mendengarkan untuk bubar. Hal itu jelas saja membuat Dian bingung sekaligus geram.
Saat Ridho menjelaskan maksudnya, Dian hanya tersenyum seolah mengiyakan. Kami lantas mendesak Dian untuk menjelaskan. Tentu saja kami penasaran bagaimana Dian bisa tahu kejadian itu sebelum kejadian itu terjadi.
Tapi Dian sepertinya memilih untuk diam dan membiarkan kami mati penasaran. Ia lantas masuk ke dalam rumah dan meminta kami untuk lebih berhati-hati. Tentu saja ucapan Dian membuat kami menjadi ketakutan.
Di lokasi pengajian, aku melihat Ridho tengah menginterogasi beberapa anak yang sebelumnya mendengar cerita Dian. Saat melihatku, Ridho langsung menghampiriku dan wajahnya terlihat panik. Ia mengajakku untuk pulang padahal kami belum mengaji.
Tentu saja aku menolak karena aku bisa dimarah jika bolos mengaji. Aku lantas bertanya kenapa harus pulang. Ridho pun menjelaskan alasannya. Penjelasan Ridho membuatku benar-benar ketakutan. Menurutnya, Dian bercerita tentang kematianku kepada anak-anak tadi. Ridho yang sudah paranoid pun segera menyeretku pulang tidak peduli aku setuju atau tidak.
Tapi hari sudah menjelang magrib dan langit sudah gelap. Suasana itu malah membuat aku menjadi ketakutan. Ketika melewati kuburan umum, aku mendengar mulut Ridho komat-kamit seperti membaca doa. Sementara aku berjalan di sampingnya sambil sesekali mengamati sekeliling.
Aku berhenti saat melihat sebuah cahaya berjalan di balik pepohonan. Cahaya itu terlihat bergerak menuju ke salah satu kuburan. Ridho yang sadar aku berhenti lantas menarik tanganku lebih keras dan kemudian memintaku berlari.
Entah karena panik atau karena takut, aku dan Ridho berlari pontang-panting. Meski tiba di rumah dengan selamat, keesokannya aku dan Ridho jatuh sakit. Kami jatuh sakit hingga berhari-hari. Tepat di hari sabtu sore, aku mendapat kabar dari Ibu bahwa Ridho meninggal dunia.
Sontak saja hal itu membuatku ketakutan setengah mati. Aku lantas menceritakan mengenai cerita Dian kepada Ayah dan Ibuku. Namun jawaban mereka justru membuatku semakin ketakutan.
Bagaimana tidak, ternyata Ayah dan Ibu tidak mengenal siapa Dian. Mereka bahkan bingung anak mana yang kumaksud. Aku lantas mengajak Ayah ke rumah Dian. Ketakutanku pun semakin menjadi-jadi saat mendapati rumah yang selama ini kulihat berubah menjadi sebuah pohon beringin besar nan rimbun.