Tafsimix - Cerpen Fiksi Horor. Belakangan ini aku merasakan ada yang aneh dalam hidupku. Entah mengapa aku selalu merasa ada sesuatu yang mengikutiku kemanapun ku pergi. Seringkali bulu kudukku berdiri dengan tiba-tiba dan di saat bersamaan udara di sekitarku menjadi lebih dingin sampai-sampai aku menggigil dibuatnya.
Sore itu, sepulang dari sawah aku mendengar jeritan dari arah hutan. Jeritan tersebut berasal dari seorang wanita yang berteriak meminta tolong. Dengan sigap aku berlari menuju sumber suara dan setibanya di sana, betapa terkejutnya aku mendapati seorang wanita bergeletak tak berdaya.
Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tetapi aku sangat yakin bahwa wanita itu sudah meninggal. Namun saat para warga datang, jenazah wanita tersebut sudah tidak ada di tempatnya. Tak seorang pun mempercayaiku sebab aku tak punya bukti sama sekali. Fenomena tersebut jelas membuat bulu kudukku berdiri. Tidak hanya berada dekat dengan mayat, tapi juga berhadapan dengan keanehannya tentu membuatku gusar.
Ketika lokasi itu menjadi sangat sepi karena para warga serentak meninggalkanku, aku kembali mendapati sosok wanita yang terbaring tak bernyawa. Wanita yang sama persis seperti yang aku lihat sebelumnya. Hanya saja kali ini mata wanita itu seperti meneteskan airmata.
Aku bertanya-tanya dalam hatiku. Bagaimana bisa mayat itu menghilang saat para warga datang dan muncul kembali begitu mereka pergi. Aku sangat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kebingunganku seolah sirna saat aroma dari mayat tersebut seolah menghajar indera penciumanku tanpa ampun.
Di antara ketakutanku yang semakin menjadi-jadi. Aku memutuskan untuk memberitahu warga lagi namun tentu saja tidak ada yang mempercayaiku. Bukannya membantu mereka malah memarahiku dan menyebutku kurang kerjaan. Salah satu dari mereka bahkan menyebutku gila.
Karena tidak dapat bantuan dari seorangpun, aku yang merasa kasihan dengan wanita malang itu memutuskan untuk membopongnya di pundakku. Aku berniat membawanya ke kampung agar warga dapat melihatnya secara langsung dan mempercayaiku.
Dengan susah payah aku berhasil menaikkan mayat itu ke pundakku dan mulai berjalan tertatih. Namun setelah berjalan cukup jauh aku malah kembali ke posisi awal dimana aku menemukan mayat itu. Tak mau menyerah begitu saja, aku mencobanya berkali-kali namun lagi-lagi aku kembali ke tempat terkutuk itu.
Aku menjadi keheranan setengah mati. Keringatku bercucuran dan kini aku tidak hanya ketakutan tapi juga mulai kehabisan tenaga. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah berlari saat mayat yang kubaringkan di sampingku menatap ke arahku dengan mata melotot dan mengatakan selamat datang.
Aku berlari pontang panting tak tentu arah. Ketika alas kakiku terlepas, aku dapat merasakan dengan jelas tusukan duri tajam pada kakiku namun semua seolah tak penting karena aku terus berlari seolah berpacu dengan degup jantungku sendiri.
Dan entah berapa hari setelah itu, aku mendapati warga berdatangan untuk mengevakuasi sesosok mayat yang tidak asing bagiku. Mayat itu sangat kukenal sebab aku mengenakan wajahnya setiap hari sepanjang hidupku. Mayat itu tampak sudah membiru dan terjebak di antara semak berduri.
Di antara kerumunan yang heboh dengan penemuan mayat, kulihat wanita bergaun putih yang tersenyum ke arah mayat itu. Aku ingat betul siapa wanita itu. Dia adalah wanita yang kubunuh dan kukubur tak jauh dari tempatku menjadi mayat.
Dari posisiku yang tak sadar betul, aku masih merasakan ketakutan yang luar biasa manakala tak seorangpun di sana menyadari kehadiranku. Aku mencoba berteriak namun tak seorangpun bergeming. Satu-satunya orang yang matanya tertuju padaku hanyalah seorang lelaki tua dengan tasbih di tangannya. Itu pun aku tidak yakin apakah dia manusia atau bukan.
Sore itu, sepulang dari sawah aku mendengar jeritan dari arah hutan. Jeritan tersebut berasal dari seorang wanita yang berteriak meminta tolong. Dengan sigap aku berlari menuju sumber suara dan setibanya di sana, betapa terkejutnya aku mendapati seorang wanita bergeletak tak berdaya.
Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tetapi aku sangat yakin bahwa wanita itu sudah meninggal. Namun saat para warga datang, jenazah wanita tersebut sudah tidak ada di tempatnya. Tak seorang pun mempercayaiku sebab aku tak punya bukti sama sekali. Fenomena tersebut jelas membuat bulu kudukku berdiri. Tidak hanya berada dekat dengan mayat, tapi juga berhadapan dengan keanehannya tentu membuatku gusar.
Ketika lokasi itu menjadi sangat sepi karena para warga serentak meninggalkanku, aku kembali mendapati sosok wanita yang terbaring tak bernyawa. Wanita yang sama persis seperti yang aku lihat sebelumnya. Hanya saja kali ini mata wanita itu seperti meneteskan airmata.
Aku bertanya-tanya dalam hatiku. Bagaimana bisa mayat itu menghilang saat para warga datang dan muncul kembali begitu mereka pergi. Aku sangat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kebingunganku seolah sirna saat aroma dari mayat tersebut seolah menghajar indera penciumanku tanpa ampun.
Di antara ketakutanku yang semakin menjadi-jadi. Aku memutuskan untuk memberitahu warga lagi namun tentu saja tidak ada yang mempercayaiku. Bukannya membantu mereka malah memarahiku dan menyebutku kurang kerjaan. Salah satu dari mereka bahkan menyebutku gila.
Karena tidak dapat bantuan dari seorangpun, aku yang merasa kasihan dengan wanita malang itu memutuskan untuk membopongnya di pundakku. Aku berniat membawanya ke kampung agar warga dapat melihatnya secara langsung dan mempercayaiku.
Dengan susah payah aku berhasil menaikkan mayat itu ke pundakku dan mulai berjalan tertatih. Namun setelah berjalan cukup jauh aku malah kembali ke posisi awal dimana aku menemukan mayat itu. Tak mau menyerah begitu saja, aku mencobanya berkali-kali namun lagi-lagi aku kembali ke tempat terkutuk itu.
Aku menjadi keheranan setengah mati. Keringatku bercucuran dan kini aku tidak hanya ketakutan tapi juga mulai kehabisan tenaga. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah berlari saat mayat yang kubaringkan di sampingku menatap ke arahku dengan mata melotot dan mengatakan selamat datang.
Aku berlari pontang panting tak tentu arah. Ketika alas kakiku terlepas, aku dapat merasakan dengan jelas tusukan duri tajam pada kakiku namun semua seolah tak penting karena aku terus berlari seolah berpacu dengan degup jantungku sendiri.
Dan entah berapa hari setelah itu, aku mendapati warga berdatangan untuk mengevakuasi sesosok mayat yang tidak asing bagiku. Mayat itu sangat kukenal sebab aku mengenakan wajahnya setiap hari sepanjang hidupku. Mayat itu tampak sudah membiru dan terjebak di antara semak berduri.
Di antara kerumunan yang heboh dengan penemuan mayat, kulihat wanita bergaun putih yang tersenyum ke arah mayat itu. Aku ingat betul siapa wanita itu. Dia adalah wanita yang kubunuh dan kukubur tak jauh dari tempatku menjadi mayat.
Dari posisiku yang tak sadar betul, aku masih merasakan ketakutan yang luar biasa manakala tak seorangpun di sana menyadari kehadiranku. Aku mencoba berteriak namun tak seorangpun bergeming. Satu-satunya orang yang matanya tertuju padaku hanyalah seorang lelaki tua dengan tasbih di tangannya. Itu pun aku tidak yakin apakah dia manusia atau bukan.