Dikira Senter Milik sang Ayah, Bocah ini Lari Terbirit-birit Saat Mendengar Tangisan di Lokasi Kecelakaan

Diposkan oleh on 2018/04/01 - 9:22:00 PM

Tafsimix - Cerpen Fiksi Horor. Sore itu, warga kampungku dihebohkan dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi di jalan raya tak jauh dari rumahku. Jalan tersebut adalah sebuah tikungan tajam yang entah sudah berapa kali menelan korban jiwa. Saat aku tiba di sana, sudah tergeletak bersimpah darah dua pria yang terlempar dari sepeda motor yang mereka naiki.

Salah satu korban sudah meninggal di tempat sementara satunya lagi masih terlihat bernafas namun sudah sekarat. Tidak ada warga yang berani mengambil tindakan sehingga keduanya baru ditangani setelah polisi datang. Setelah dibawa ke rumah sakit, korban yang sekarat pun akhirnya meninggal dunia.

Beberapa orang yang menjadi saksi kecelakaan tabrak lari tersebut sempat mencoba mengejar truk yang melanggar korban namun tidak berhasil. Karena peristiwa tersebut, lagi-lagi lingkungan di sekitar lokasi kejadian menjadi sangat mencekam.

Jalan tikungan tersebut memang sudah sering menjadi langganan kecelakaan. Sudah banyak yang meninggal di sana dan kebanyakan korban meninggal di tempat. Karena sering menelan korban jiwa, tikungan itu pun jadi terkenal angker.

Beberapa warga sekitar mengaku pernah melihat penampakan di lokasi tersebut saat melintas seorang diri di malam hari. Ada yang sekedar mendengar rintihan minta tolong, mendengar suara kecelakaan, mencium bau amis darah, hingga melihat sosok hantu yang diyakini adalah korban kecelakaan di lokasi itu.

Cerpen horor tentang hantu gentayangan di lokasi kecelakaan

Mendengar cerita seperti itu dari beberapa orang tentu membuat kami anak-anak menjadi ketakutan. Apalagi kami harus melalui jalan itu setiap malam sepulang mengaji. Bayangan mengenai korban kecelakaan yang baru saja terjadi terus menghantui fikiran sehingga membuat kami takut.

Karena terlalu penakut, sore itu aku membujuk orangtuaku agar aku diizinkan libur mengaji namun Ibu bersikeras agar aku tetap mengaji. Menjelang magrib, aku bersama dua temanku pun berjalan melintasi sebuah tanjakan yan berada di dekat lokasi tabrakan. Tanjakan ini merupakan jalan alternatif yang sudah biasa kami lewati sebab jalan raya yang menikung terkesan bahaya bagi kami.

Tak seperti biasa, kami bertiga terlihat begitu tegang. Tidak ada perbincangan yang berlangsung namun kami sepakat untuk berjalan dengan gerakan cepat hingga nyaris berlari. Saat mengaji, aku sangat tidak fokus karena terus kefikiran mengenai cerita hantu di tikungan itu.

Setelah salat Isya, kami pun segera meninggalkan masjid untuk kembali ke rumah masing-masing. Malam itu langit sangat gelap sehingga suasananya menjadi sangat mencekam. Sepanjang perjalanan, kami harus melewati beberapa lokasi yang sepi karena tidak ada rumah dan hanya ada pepohonan sawit.

Dengan hanya berbekal senter kecil, aku dan temanku berjalan saling berdempetan. Saking dempetnya aku bisa merasakan kaki kami saling bersenggolan. Tak terasa kami akhirnya tiba di jalan pintas (turunan) yang akan menghubungkan kami langsung ke tikungan lokasi tabrakan.

Awalnya aku tersenyum lebar saat melihat cahaya senter bergerak dari arah berlawanan menuju arah kami. Aku senang karena aku berfikir itu adalah Ayahku. Aku berfikir demikian sebab Ibu memang bilang bahwa Ayah akan menjemput kami jadi kami tidak perlu takut.

Karena terlalu bersemangat aku mengajak kedua temanku untuk berjalan lebih cepat. Tentu saja mereka juga senang saat aku bilang cahaya senter itu adalah senter Ayahku yang menyusul kami. Sama seperti kami yang bergerak mendekat, cahaya senter itu juga bergerak semakin dekat dengan kami.

Akan tetapi, saat aku fikir kami sudah benar-benar dekat dengan Ayahku, cahaya senter itu malah hilang. Sontak aku dan temanku menjadi panik. Kepanikan kami pun semakin menjadi saat senter yang kupegang juga tiba-tiba mati.

Karena merasa sudah dekat dengan Ayahku, aku mencoba berteriak memanggilnya sambil terus berjalan bergandengan tangan dengan kedua temanku. Aku memanggilnya beberapa kali tapi tidak ada jawaban sama sekali. Hal itu membuat jantungku berdegup begitu kencang seolah berpacu dengan degup jantung kedua temanku.

Sambil terus berjalan di tengah kegelapan, dengan suara gemetar aku mencoba memanggil ayahku sekali lagi. Namun bukan sahutan Ayahku yang kami dengar melainkan jeritan lirih yang entah darimana asalnya yang sontak membuat kami bertiga berlari terbirit-birit. Kami yang tadinya bergandengan bahkan memutuskan berlari sendiri-sendiri agar lebih cepat.