Tafsimix - Cerpen Fiksi Horor. Setelah menyelesaikan urusan di sekolahku yang lama, aku dan keluargaku akhirnya pindah ke luar kota dan tinggal di sebuah kompleks sederhana. Di sepanjang jalan yang menghubungkan setiap rumah di kompleks tersebut terdapat beberapa pohon mahoni berukuran besar yang daunnya sangat rimbun.
Seram dan menakutkan, itulah kesan pertama yang aku rasakan begitu kami tiba di rumah baru. Rumah itu merupakan rumah bergaya arsitektur Belanda dengan jendela berukuran besar. Ada tiga kamar tidur di rumah tersebut dan aku sebagai anak laki-laki kebagian kamar paling belakang.
Awalnya semua baik-baik saja dan aku tidak punya masalah khusus dengan kamar baruku karena aku memang tipe orang yang cukup mudah beradaptasi. Namun keanehan demi keanehan terus saja aku alami beberapa hari setelahnya.
Keanehan pertama yang membuatku merasa terganggu adalah suara sapuan dedaunan di atas atap rumah di kala malam hari. Suaranya lama kelamaan terdengar seperti ada orang yang sedang menyapu di atas genteng. Padahal tidak ada pepohonan di sekitar rumah yang memungkinkan timbulnya suara tersebut.
Karena tidak nyaman, aku mendatangi Ayah yang sedang mengerjakan pekerjaan kantornya untuk melaporkan keanehan tersebut. Baiknya Ayah, meski sibuk Ia setuju untuk membawa pekerjaannya ke kamarku agar Ia bisa mendengar sendiri suara aneh yang kuceritakan.
Anehnya, sudah berjam-jam ayah di kamarku namun suara sapuan dedaunan di atas genting tidak terdengar sama sekali. Padahal sebelum aku memanggil ayah suara itu begitu jelas. Akhirnya Ayah pamit untuk tidur dan memintaku untuk tidak terlalu khawatir.
Meski heran, aku pun setuju untuk segera istirahat sesuai perintah Ayah. Tapi baru saja aku mencoba memejamkan mata, lagi-lagi suara dari atas genting kembali terdengar. Kali ini suaranya bahkan terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Untuk sesaat aku mencoba mengamati sekeliling kamar dan tersadar bahwa gorden jendela belum aku tutup.
Meski takut dan merinding, aku memberanikan diri bangkit dari tempat tidur untuk menutup gorden tersebut. Namun lagi-lagi aku disuguhkan dengan keanehan yang membuat bulu kudukku merinding. Dari balik jendela, aku melihat sesosok wanita bergaun putih melintas tak jauh dari kamar. Aku segera menarik pandanganku saat sosok itu sepertinya membalikkan tubuh mengarah padaku.
Dengan segera aku menutup gorden dan kembali ke atas tempat tidur. Tanpa fikir panjang aku segera menelepon Ayah untuk memintanya datang. Awalnya aku kahwatir kalau ayah sudah tidur karena ia tidak mengangkat teleponku. Tapi tak berapa lama setelah itu, Ayah dan Ibu ternyata datang berdua ke kamarku.
Ayah dan Ibu terlihat kompak mengenakan baju tidur berwarna putih senada. Tanpa basa-basi lagi aku langsung menceritakan apa yang kulihat kepada Ayah dan Ibu. Ayah terlihat serius menyimak sementara Ibu justru terlihat senyum-senyum seolah menertawakanku. Ibu bahkan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Tapi yang pasti tatapan itu membuatku tidak nyaman.
Sadar dengan ketidaknyamananku, Ayah lantas mencoba menenangkan dan mengatakan bahwa orang itu kemungkinan adalah tetangga sebelah yang lewat. Aku mencoba membantah dan mengatakan wanita yang kulihat tadi terlihat seperti hantu. Tentu saja aku juga menanyakan untuk apa wanita itu berjalan di halaman rumah kami.
Ayah dan Ibu lantas tersenyum. Kini giliran Ibu yang bicara. Anehnya, Ibu malah mengarang cerita lain yang berbeda dengan versi Ayah. Ibu malah bilang wanita itu kemungkinan adalah orang gila yang memang sering berkeliaran di rumah orang. Meski berbeda, kali ini aku lebih suka jawaban versi Ibu karena lebih masuk akal.
Merasa aku sudah mulai tenang, ayah dan Ibu kemudian pamit untuk kembali beristirahat. Aku pun mengiyakan dan meminta mereka untuk menutup pintu kamarku. Tapi, begitu pintu di tutup dan aku menarik selimut, handphoneku pun berdering.
Kugapai handphoneku dan kulihat nomor Ayah dilayar. Untuk sesaat aku merasa heran mengapa Ayah meneleponku lagi padahal ia baru saja keluar dari kamar. Meski begitu, segera kuangkat telepon tersebut dan kudengar suara Ayah.
"Ada apa bang? Kok abang telepon Ayah barusan? Masih belum bisa tidur juga? Perlu Ayah ke sana?"
Sontak pertanyaan Ayah membuat jantungku berdegup kencang. Untuk sesaat aku tidak mampu berfikir jernih. Satu-satunya yang terlintas di benakku saat itu hanyalah menjerit histeris dan tak lama setelah itu, Ayah, Ibu, dan kakak pun tiba di kamarku dengan ekspresi cemas.
Seram dan menakutkan, itulah kesan pertama yang aku rasakan begitu kami tiba di rumah baru. Rumah itu merupakan rumah bergaya arsitektur Belanda dengan jendela berukuran besar. Ada tiga kamar tidur di rumah tersebut dan aku sebagai anak laki-laki kebagian kamar paling belakang.
Awalnya semua baik-baik saja dan aku tidak punya masalah khusus dengan kamar baruku karena aku memang tipe orang yang cukup mudah beradaptasi. Namun keanehan demi keanehan terus saja aku alami beberapa hari setelahnya.
Keanehan pertama yang membuatku merasa terganggu adalah suara sapuan dedaunan di atas atap rumah di kala malam hari. Suaranya lama kelamaan terdengar seperti ada orang yang sedang menyapu di atas genteng. Padahal tidak ada pepohonan di sekitar rumah yang memungkinkan timbulnya suara tersebut.
Karena tidak nyaman, aku mendatangi Ayah yang sedang mengerjakan pekerjaan kantornya untuk melaporkan keanehan tersebut. Baiknya Ayah, meski sibuk Ia setuju untuk membawa pekerjaannya ke kamarku agar Ia bisa mendengar sendiri suara aneh yang kuceritakan.
Anehnya, sudah berjam-jam ayah di kamarku namun suara sapuan dedaunan di atas genting tidak terdengar sama sekali. Padahal sebelum aku memanggil ayah suara itu begitu jelas. Akhirnya Ayah pamit untuk tidur dan memintaku untuk tidak terlalu khawatir.
Meski heran, aku pun setuju untuk segera istirahat sesuai perintah Ayah. Tapi baru saja aku mencoba memejamkan mata, lagi-lagi suara dari atas genting kembali terdengar. Kali ini suaranya bahkan terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Untuk sesaat aku mencoba mengamati sekeliling kamar dan tersadar bahwa gorden jendela belum aku tutup.
Meski takut dan merinding, aku memberanikan diri bangkit dari tempat tidur untuk menutup gorden tersebut. Namun lagi-lagi aku disuguhkan dengan keanehan yang membuat bulu kudukku merinding. Dari balik jendela, aku melihat sesosok wanita bergaun putih melintas tak jauh dari kamar. Aku segera menarik pandanganku saat sosok itu sepertinya membalikkan tubuh mengarah padaku.
Dengan segera aku menutup gorden dan kembali ke atas tempat tidur. Tanpa fikir panjang aku segera menelepon Ayah untuk memintanya datang. Awalnya aku kahwatir kalau ayah sudah tidur karena ia tidak mengangkat teleponku. Tapi tak berapa lama setelah itu, Ayah dan Ibu ternyata datang berdua ke kamarku.
Ayah dan Ibu terlihat kompak mengenakan baju tidur berwarna putih senada. Tanpa basa-basi lagi aku langsung menceritakan apa yang kulihat kepada Ayah dan Ibu. Ayah terlihat serius menyimak sementara Ibu justru terlihat senyum-senyum seolah menertawakanku. Ibu bahkan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Tapi yang pasti tatapan itu membuatku tidak nyaman.
Sadar dengan ketidaknyamananku, Ayah lantas mencoba menenangkan dan mengatakan bahwa orang itu kemungkinan adalah tetangga sebelah yang lewat. Aku mencoba membantah dan mengatakan wanita yang kulihat tadi terlihat seperti hantu. Tentu saja aku juga menanyakan untuk apa wanita itu berjalan di halaman rumah kami.
Ayah dan Ibu lantas tersenyum. Kini giliran Ibu yang bicara. Anehnya, Ibu malah mengarang cerita lain yang berbeda dengan versi Ayah. Ibu malah bilang wanita itu kemungkinan adalah orang gila yang memang sering berkeliaran di rumah orang. Meski berbeda, kali ini aku lebih suka jawaban versi Ibu karena lebih masuk akal.
Merasa aku sudah mulai tenang, ayah dan Ibu kemudian pamit untuk kembali beristirahat. Aku pun mengiyakan dan meminta mereka untuk menutup pintu kamarku. Tapi, begitu pintu di tutup dan aku menarik selimut, handphoneku pun berdering.
Kugapai handphoneku dan kulihat nomor Ayah dilayar. Untuk sesaat aku merasa heran mengapa Ayah meneleponku lagi padahal ia baru saja keluar dari kamar. Meski begitu, segera kuangkat telepon tersebut dan kudengar suara Ayah.
"Ada apa bang? Kok abang telepon Ayah barusan? Masih belum bisa tidur juga? Perlu Ayah ke sana?"
Sontak pertanyaan Ayah membuat jantungku berdegup kencang. Untuk sesaat aku tidak mampu berfikir jernih. Satu-satunya yang terlintas di benakku saat itu hanyalah menjerit histeris dan tak lama setelah itu, Ayah, Ibu, dan kakak pun tiba di kamarku dengan ekspresi cemas.